Oleh Agung Yulianto
Seorang tabi’in berkata, “Sungguh jika tiada sepertiga malam
terakhir, aku tidak betah hidup di dunia ini”. Mereka benar-benar
mereguk kenikmatan tiada tara saat berkhalwat dengan Tuhannya. Namun
mengapa kita belum bisa merasakannya?
Berbagai keutamaan
qiyamul-lail sudah kita baca atau kita dengar dari para ulama. Kita pun
sudah beberapa kali mencoba melaksanakannya, dengan mujahadah
(kesungguhan) melawan kantuk dan dinginnya malam. Namun, berkali-kali
juga kita mengalami futur (lalai), tidak dapat lagi melaksanakan
qiyamul-lail.
Maklumat dan pemahaman perihal keutamaan
Qiyamul-Lail sudah sama-sama mafhum. Jika belum silakan googling saja
dengan keyword “qiyamul lail”, atau mampir toko buku maka akan kita
jumpai puluhan buku tentang keutamaan qiyamul-lail. Namun mengapa
demikian berat untuk taf’il (melaksanakan) Qiyamul Lail tersebut?
Menurut
saya, sebabnya adalah karena kita belum dapat menikmatinya. Sehingga
pikiran bawah sadar kita masih merasakan bahwa qiyamul-lail itu beban
yang berat.
Waktu sepertiga malam, saat dimana bumi mengeluarkan
gelombang kekhusyu’an (alfa), sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya
bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di
waktu itu lebih berkesan” (Al-Muzammil 6). Seharusnya, saat-saat inilah
dzikir dan bacaan Al-Quran kita lebih berkesan, hati lebih mudah
bergetar ketika Asma Allah disebut. Jiwa kita lebih bening sebening
embun pagi di dedaunan. Air mata lebih mudah meleleh bahkan tertumpah
dan tak kuasa kita hentikan. Hati menjadi halus dan lembut, sehingga
hijab kita dengan Allah semakin transparan. Pendeknya inilah surga dunia
yang telah dinikmati oleh para sahabat, tabi’in dan salafus saleh.
Maukah kita memperolehnya?
Mengapa kita belum bisa menikmati
Qiyamul Lail? Mungkin karena kita kurang “Mujahadah” (memaksakan diri).
Ya, betul… Namun bukan itu maksud saya. Bisa jadi pada waktu-waktu yang
lalu kita sudah mujahadah, namun lagi-lagi giliran futur itu datang.
Kita
sulit qiyamul-lail dan hati kita mati karena kita masih melakukan
banyak maksiat dan dosa. Bukankah maksiat dan dosa akan menimbulkan
noktah hitam di hati hingga hati kita menjadi kasat dan mati. Doa yang
kita panjatkan tidak di istijabah oleh Allah SWT. Ya, betul sekali,
sangat tepat…! Tapi saya ingin berangkat dari perspektif lain.
Perspektif
lain itu adalah, kita tidak dapat menikmati qiyamul-lail, dan masih
banyak melakukan maksiat adalah karena “kita belum mengenal dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Hati kita masih diisi oleh selain
Allah, masih jauh dari Allah.
Mari pertama-tama kita niatkan dan azzamkan diri kita bahwa kita sangat ingin untuk taqarrub mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari
Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah
bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya
ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku
mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan
orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik
daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun
mendekatkan Diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku
sehasta. Aku pun akan mendekatkan Diri padanya sedepa. Jika ia
mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari
kecil”.
Waktu-waktu di keseharian kita, masih sunyi dari dzikir
kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu
tempat, lalu di situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan
mendapat kerugian dan penyesalan” (HR Abu Dawud). Dalam keseharian kita,
di ketika mandi, di perjalanan kantor, istirahat, hati dan pikiran kita
tidak dzikir kepada Allah dan lantas diisi oleh selainnya. Bahkan!
bangun tidur kita lupa berdoa, masuk dan keluar kamar mandi lupa
berdzikir, selesai makan lupa memuji dan berterima kasih kepada-Nya.
Astaghfirullah… beristighfarlah berulang kali saudaraku. Rasakanlah
penyesalan dan biarkan air matamu meleleh…
Mulai detik ini isilah
setiap relung hati dan celah pikiran dengan dzikir kepada Allah. Di
setiap waktu dalam 24 jam hidup kita isilah dengan dzikir. Jika kita
melakukannya, bahkan dalam tidur pun kita tetap bermimpi berdzikir dan
bershalawat. Banyak dzikir-dzikir singkat, seperti dua kalimat yang
paling berat di sisi Allah, yaitu, “SubhanaLlahi wabihamdihi…
SubhanaLlahil-azhiem…”. Atau dengan beristighfar, “Astaghfirullah…
astaghfirullah…”, bertasbih, “Subahanallahi… subhanallahi”. Bahkan cukup
dengan menyebut asma Allah, “Allah… Allah… atau Yaa Allah.. Ya Allah”.
Lakukanlah di manapun, dan kapan pun, bahkan multitasking sambil
melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari. Jika ada waktu senggang,
dzikir yang paling utama adalah Al-Quran. Membaca Al-Quran,
mentadabburinya, menghafalnya, mengulang hafalan atau bahkan sekadar
mendengarkan kaset murattal Al-Qur’an sambil kita mengendarai kendaraan.
Dzikir
ini akan mengikis dosa dan kotoran jiwa, seperti mengikis karat hingga
kemilau emas muncul kembali. Dengan sendirinya, dzikir akan mencegah
kita berbuat dosa dan maksiat lagi. Ketika kita akan berbuat sesuatu
yang dilarang Allah, hati yang telah dipenuhi Asma Allah akan otomatis
menolaknya.
Dzikir akan semakin menghaluskan hati kita. Semakin
memudahkan kita menangis dalam berbagai kondisi. Semakin memahami
hakikat dan semakin ma’rifat kepada Allah. Suatu ketika ada sekelompok
sahabat yang telah mengalami kehausan karena kehabisan minuman dalam
perjalanan safar berhari-hari. Ketika mereka menemukan sebuah sumber
air, segera mereka minum dan membasahi muka sepuas-puasnya. Namun ada
seorang sahabat yang justru ketika ia akan mengambil air ia menangis
sesenggukan. Sahabat lain pun bertanya, “Mengapa engkau menangis padahal
Allah memberikanmu minuman pada saat kehausan?”.
Sahabat tersebut
berkata, “Ketika aku membaca doa “Allahumma bariklana fii maa razaqtana
waqina adzabannaar”, terbayang olehku penduduk neraka yang lebih haus
dariku namun diharamkan padanya meminum air sedikit pun. Firman Allah:
“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada kami
sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka
(penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
keduanya itu atas orang-orang kafir, (Al-A’raaf: 50).
Subhanallah,
sahabat tersebut mampu menangkap hakikat kalimat “waqina adzabannar”
dalam doa mau makan dan minum, karena ia selalu berdzikir mengingat
Allah.
Jika dalam setiap tarikan nafas kita selalu berdzikir,
dalam setiap langkah kita diikuti dengan dzikir, maka akan muncul banyak
keajaiban dalam hidup kita. Allah akan mengaruniai limpahan kenikmatan
yang menisbikan kenikmatan dunia. Barulah kita bisa memahami kisah dalam
hadits berikut :
Diriwayatkan bahwa Haritsah RA berkata kepada
Rasulullah SAW, “Pagi ini, saya menjadi mukmin yang sebenarnya”. Beliau
berkata kepadanya, “Seorang Mukmin yang benar itu memiliki hakikat.
Lantas apa hakikat dari keimananmu?” Ia menjawab, “Saya jauhkan diriku
dari dunia, hingga di mataku BATU dan PERMATA terlihat sama….”
Subhanallah… batu dan permata terlihat sama. Espass dan Alphard terlihat sama!
Kita lanjutkan haditsnya:
“…
Saya seakan-akan melihat singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya
seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang di dalam surga dan
penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” Beliau SAW berkata, “Hai
Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, istiqomahlah”. Inilah
mungkin yang dalam tasawuf disebut “Kasyaf”.
Saudaraku, mari
hidupkan hati, lembutkan jiwa dengan selalu berdzikir kepada Allah SWT.
Barulah kita bisa menikmati indahnya dan nikmatnya Qiyamul Lail.
Berikutnya kita akan merasakan berbagai kenikmatan spiritual dan
ayat-ayat keajaiban Allah dalam hidup kita.
Mari penuhi hidup kita dengan dzikir, dan perhatikan apa yang akan terjadi. [dakwatuna]
No comments:
Post a Comment