Ulama salaf, terdahulu merupakan orang-orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut terjerumus melakukan hal itu.
Di
antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dia
berkata, “Aku mendengar Abu ‘Ashim berkata, “Semenjak aku ketahui bahwa
ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama
sekali.” (At-Tarikh Al-Kabir)
Al-Imam Bukhari mengatakan, “Aku
berharap untuk bertemu dengan Allah dan Dia tidak menghisab saya sebagai
seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain.”
Imam
Adz-Dzahabi berkomentar, “Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang
melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta’dil (menyatakan cacat dan
jujurnya seorang perawi), maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam
membicarakan orang lain, dan sikap inshaf, obyektif beliau di dalam tadh’aif, melemahkan seseorang".
Lebih
lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, “Apabila aku (Imam Bukhari)
berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang
yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau
“Semoga Allah tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah
terhadap orang lain.” Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap
wara’. (Siyar A’lamun An -Nubala’)
“Aku tidak menggunjing
seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya
bagi pelakunya.” (Siyar A’lam An-Nubala’)
Jika mereka terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri.
Ibnu
Wahab berkata, “Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing
seseorang, maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras
untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun
berpuasa. Kemudian aku berazam apabila menggunjing seseorang, maka aku
akan bersedekah satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku
pun meninggalkan ghibah.”
Berkata imam Adz-Dzahabi, “Seperti itulah sikaf para ulama salaf dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat.”
Bahkan
seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan
kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdurrahman bin
Mahdi berkata, “Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah,
maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku
menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan
kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu.”
“Dan
ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (Al-Baqarah: 235)
Ibnu Daqiq Al-Ied berkata,
“Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang neraka yang para ahli
hadits dan ahli hukum diam apabila berhadapan dengannya". (Thabaqat
Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra).
Pemahaman ulama salaf tentang ghibah
sedemikian dalam, hingga mereka selalu waspada akan kata dan sikapnya
dalam menilai orang lain.
Kita pun bisa bersikap dan memahami
masalah ini sebagaimana ulama salaf berpaham agar kita tidak termasuk
orang-orang yang berbuat ghibah.
Ghibah atau membicarakan aib orang lain telah diharamkan Allah secara tegas di dalam kitab-Nya dan melalui sabda Rasul-Nya.
Allah
berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kalain memakan daging saudaranya yang
sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Al-Hujurat:12)
Adapun
pengertian ghibah, Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. “Engkau membicarakan
saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan).” (HR.
Muslim)
Rasulullah SAW telah mengharamkan kehormatan seorang
mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah
haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian,
dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya
hari kalian ini (hari Arafah), di bulan ini (bulan haram), dan di negeri
ini (tanah haram). Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?” (HR Muslim)
Bahkan
dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa
membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah
dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri.
Diriwayatkan
dari Al-Barra’ bin Azib r.a. dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Riba itu mempunyai 72 pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang
menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang
berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya.”
Di dalam sebuah
potongan hadits, riwayat dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW bersabda,
“Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak
terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah akan mengurungnya di dalam
lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya
(melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Al-Hakim, disetujui Adz-Dzahabi)
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Ghanam r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik hamba Allah
adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama
Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan
mengadu-domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan
senang untuk membuat susah orang-orang yang baik.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar r.a. dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai orang
yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke
dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah
kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari
(mengintai) kelemahan mereka".
"Karena siapa saja yang mencari-cari
kekurangan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mengintai
kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya, maka
pasti Allah akan buka, meskipun dia berada di dalam rumahnya.” (HR.
Tirmidzi). Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment